Semar



SEMAR (BETARA ISMAYA)
Semar (Betara Ismaya) seorang Dewa, saudara Betara Manikmaya (Guru), anak Sang Hyang Tunggal.
Sang Hyang Tunggal menganggap Semarlah yang tua dan meramalkan dia takkan bisa bergaul dengan para Dewa dan bertitah, supaya ia tinggal di dunia untuk mengasuh keturunan Dewa-dewa yang berwujud dan bersifat manusia. Sesudah Semar tinggal di Marcapada (dunia), berobahlah parasnya yang elok menjad sangat jelek Segala tanda kejelekan pada tubuh manusia terdapat pada Semar, sehingga Semar dianggap sebagai manusia biasa saja.
Semar selalu mengikuti dan mengemong keturunan Dewa yang bernama Pendawa. Semar berwatak sabar, pengasih, penyayang dan tak pernah susah. Tetapi kalau dia sudah marah, tak ada seorang pun yang bisa mencegahnya dan Dewa-dewa pun dianggapnya lebih rendah daripada telapak kakinya. Tanda-tanda pada waktu ia marah ialah bercucurnya air matanya, mengalir dengan derasnya ingusnya dan keluar tak berhenti-berhentinya kentutnya, selagi ia berteriak-teriak kepada Dewa, meminta kembali kebagusan rupanya.
Semar selalu merendahkan diri terhadap anak-anak asuhannya dan berbahasa lemah-lembut sebagaimana layaknya seorang hamba, bila bercakap-cakap dengan tuannya. Tetapi jika bergaul dengan para Dewa, ia bersikap seperti menghadapi orang-orang sejajarnya.
Semar beristrikan Dewi Kanastren dan mempunyai sepuluh orang anak yang semuanya adalah Dewa.
Semar melambangkan akhlak manusia sesejati-sejatinya.
Semar bermata rembesan (sakit mata), berhidung nyunti (seperti umbi selederi), bibir bawah mulutnya agak panjang, berjambul, berpusar burut, bergelang, kedua tangannya bisa digerakkan, tetapi selalu dibelakangkan. Berpantat besar menjolok ke belakang.
Semar cengeng, gampang menangis. Kalau ksatria yang diiringkannya menghadapi bahaya, menangislah ia, tetapi menangisnya berlagu dengan menggunakan wangsalan, berkata-kata samar-samar dan mengandung arti seperti misalnya dalam kata-kata: roning mlinjo (nama daun mlinjo ialah aso). Lalu kata-kata roning mlinjo tadi disambung dengan katakata: sampun sayah nyuwun ngaso, sudah penat mohon mengaso.
Pada waktu menangis menghadapi bahaya, berkataiah Semar sebagai berikut: Lae bapa benderaku, mangga Raden sami nyenthe jurang”, senthe jurang berati: kajar, sebangsa tales yang tumbuh di jurang. Dan disambunglah kata-kata tersebut dengan: Mangga Raden sami lumajar yang berarti. Marilah, Raden kita lan bersama-sama.
Di dalam lakon Srikandi berguru memanah, pada suatu ketika Arjuna keliru mendukung Dewi Wara Sumbadra yang sedang marah, karena dikiranya Sumbadra adalah Srikandi dan waktu itu Arjuna sedang tergila-gila pada Srikandi. Salah bopong ini menyebabkan murkanya Sumbadra dan berkatalah ia kepada Anjuna, “Ayo lekas, pulangkan badanku ke Dwarawati. Datangku ke sini dulu lantaran kamu. Aku tak tergesa-gesa menyerahkan badanku kepadamu, orang Madukara dan hanya menyerahkannya karena kamu menjemputnya.”
Peristiwa ini terjadi karena Semar, sebab Semarlah yang membenitahukan tempat Srikandi kepada Sumbadra. Lalu pada gilirannya marahlah Arjuna pada Semar dan sesudah Semar kena marah Arjuna, berkatalah dia, “Selagi Raden yang berpenglihatan terang bisa berbuat keliru, lebih-lebih hamba yang bermata kabur, tentu lebih berkemungkinan untuk berbuat salah.
Demikianlah sekedar gambaran mengenai tingkah laku Raden Arjuna.
Sekarang pun peristiwa seperti ini bisa terjadi juga.
Sewaktu dimainkan di waktu sore, wayang Semar yang digunakan ialah yang mukanya dan seluruh badannya bercat prada dan sewaktu dimainkan menjelang pagi yang digunakan ialah wayang yang mukanya bercat putih dan badannya bercat hitam. Di mana Semar dimainkan bersama dengan kedua orang anaknya, Gareng dan Petruk, maka Semar berwanda: 1. Gilut, 2. Dunuk, 3. Watu, 4. Mega, 
5. Dukun, 6. Miling, dan 7. Brebes.
Konon Semar yang berwanda demikian adalah karangan Sri Sultan Agung di Mataram.
Adapun Semar yang dimainkan dengan Bagong, 
berwanda Brebes dan Jetung.

Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982